Jumat, 13 Desember 2013
1. Sumber-sumber
Argyreà berarti Perak, dalam literatur lain terjemahan dari merak, yang terletak disebelah barat pulau Jawa.
Ada pendapat lain, bahwa Labadiou tidak mengacu pada pulau Jawa, tetepi Sumatra atau bahkan Kalimantan Barat daya.
- Dalam Buku “Geographicke Hyphegesis”, ahli ilmu bumi Yunani bernama Claudius Ptolomeus, menyebutkan sebuah kota bernama “Argyre” yang terletak di ujug barat pulau Labadiou.
Argyreà berarti Perak, dalam literatur lain terjemahan dari merak, yang terletak disebelah barat pulau Jawa.
Ada pendapat lain, bahwa Labadiou tidak mengacu pada pulau Jawa, tetepi Sumatra atau bahkan Kalimantan Barat daya.
ada dikatakan bahwa neolithikum itu adalah suatu revolusi yang sangat
besar dalam peradaban manusia. Perubahan besar ini ditandai dengan
berubahnya peradaban penghidupan food-gathering menjadi foodproducing.
Pada saat orang sudah mengenal bercocok tanam dan berternak. Pertanian
yang mereka selenggarakan mula-mula bersifat primitif dan hanya
dilakukan di tanah-tanah kering saja. Pohon-pohon dari beberapa bagian
hutan di kelupak kulitnya dan kemudian dibakar. Tanah-tanah yang baru
dibuka untuk pertanian semacam itu untuk beberapa kali berturut-turut
ditanami dan sesudah itu ditinggalkan.
Orang-orang Indonesia zaman neolithikum membentuk masyarakat-masyarakat dengan pondok-pondok mereka berbentuk persegi siku-siku dan didirikan atas tiang-tiang kayu, dinding-dindingnya diberi hiasan dekoratif yang indah-indah, Walaupun alat-alat mereka masih dibuat daripada batu, tetapi alat-alat itu dibuat dengan halus, bahkan juga sudah dipoles pada kedua belah mukanya.
A. CARA HIDUP
Cara hidup zaman neolithikum membawa perubahan-perubahan besar, karena pada zaman itu manusia mulai hidup berkelompok kemudian menetap dan tinggal bersama dalam kampung. Berarti pembentukan suatu masyarakat yang memerlukan segala peraturan kerja sama. Pembagian kerja memungkinkan perkembangan berbagai macam dan cara penghidupan di dalam ikatan kerjasama itu. Dapat dikatakan pada zaman neolithikum itu terdapat dasar-dasar pertama untuk penghidupan manusia sebagai manusia, sebagaimana kita dapatkan sekarang.
B. ALAT-ALAT ZAMAN NEOLITHIKUM
Pada zaman neolithikum ini alat-alat terbuat dari batu yang sudah dihaluskan.
1. Pahat Segi Panjang
Daerah asal kebudayaan pahat segi panjang ini meliputi Tiongkok Tengah dan Selatan, daerah Hindia Belakang sampai ke daerah sungai gangga di India, selanjutnya sebagian besar dari Indonesia, kepulauan Philipina, Formosa, kepulauan Kuril dan Jepang.
2. Kapak Persegi
Asal-usul penyebaran kapak persegi melalui suatu migrasi bangsa
Asia ke Indonesia. Nama kapak persegi diberikan oleh Van Heine Heldern
atas dasar penampang lintangnya yang berbentuk persegi panjang atau
trapesium. Penampang kapak persegi tersedia dalam berbagai ukuran, ada
yang besar dan kecil. Yang ukuran besar lazim disebut dengan beliung dan
fungsinya sebagai cangkul/pacul. Sedangkan yang ukuran kecil disebut
dengan Tarah/Tatah dan fungsinya sebagai alat pahat/alat untuk
mengerjakan kayu sebagaimana lazimnya pahat.
Bahan untuk membuat kapak tersebut selain dari batu biasa, juga dibuat dari batu api/chalcedon. Kemungkinan besar kapak yang terbuat dari calsedon hanya dipergunakan sebagai alat upacara keagamaan, azimat atau tanda kebesaran. Kapak jenis ini ditemukan di daerahi Sumatera, Jawa, bali, Nusatenggara, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan.
3. Kapak Lonjong
Sebagian besar kapak lonjong dibuat dari batu kali, dan warnanya
kehitam-hitaman. Bentuk keseluruhan dari kapak tersebut adalah bulat
telur dengan ujungnya yang lancip menjadi tempat tangkainya, sedangkan
ujung lainnya diasah hingga tajam. Untuk itu bentuk keseluruhan
permukaan kapak lonjong sudah diasah halus.
Ukuran yang dimiliki kapak lonjong yang besar lazim disebut dengan Walzenbeil dan yang kecil disebut dengan Kleinbeil, sedangkan fungsi kapak lonjong sama dengan kapak persegi. Daerah penyebaran kapak lonjong adalah Minahasa, Gerong, Seram, Leti, Tanimbar dan Irian. Dari Irian kapak lonjong tersebar meluas sampai di Kepulauan Melanesia, sehingga para arkeolog menyebutkan istilah lain dari kapak lonjong dengan sebutan Neolithikum Papua.
4. Kapak Bahu
Kapak jenis ini hampir sama seperti kapak persegi, hanya saja di bagian yang diikatkan pada tangkainya diberi leher. Sehingga menyerupai bentuk botol yang persegi. Daerah kebudayaan kapak bahu ini meluas dari Jepang, Formosa, Filipina terus ke barat sampai sungai Gangga. Tetapi anehnya batas selatannya adalah bagian tengah Malaysia Barat. Dengan kata lain di sebelah Selatan batas ini tidak ditemukan kapak bahu, jadi neolithikum Indonesia tidak mengenalnya, meskipun juga ada beberapa buah ditemukan yaitu di Minahasa.
5. Perhiasan (gelang dan kalung dari batu indah)
Jenis perhiasan ini banyak di temukan di wilayah jawa terutama gelang-gelang dari batu indah dalam jumlah besar walaupun banyak juga yang belum selesai pembuatannya. Bahan utama untuk membuat benda ini di bor dengan gurdi kayu dan sebagai alat abrasi (pengikis) menggunakan pasir. Selain gelang ditemukan juga alat-alat perhisasan lainnya seperti kalung yang dibuat dari batu indah pula. Untuk kalung ini dipergunakan juga batu-batu yang dicat atau batu-batu akik.
6. Pakaian dari kulit kayu
Pada zaman ini mereka telah dapat membuat pakaiannya dari kulit kayu yang sederhana yang telah di perhalus. Pekerjaan membuat pakaian ini merupakan pekerjaan kaum perempuan. Pekerjaan tersebut disertai pula berbagai larangan atau pantangan yang harus di taati. Sebagai contoh di Kalimantan dan Sulawesi Selatan dan beberapa tempat lainnya ditemukan alat pemukul kulit kayu. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang zaman neolithikum sudah berpakaian.
7. Tembikar (Periuk belanga)
Bekas-bekas yang pertama ditemukan tentang adanya barang-barang
tembikar atau periuk belanga terdapat di lapisan teratas dari
bukit-bukit kerang di Sumatra, tetapi yang ditemukan hanya berupa
pecahan-pecahan yang sangat kecil. Walaupun bentuknya hanya berupa
pecahan-pecahan kecil tetapi sudah dihiasi gambar-gambar. Di Melolo,
Sumba banyak ditemukan periuk belanga yang ternyata berisi tulang
belulang manusia.
Orang-orang Indonesia zaman neolithikum membentuk masyarakat-masyarakat dengan pondok-pondok mereka berbentuk persegi siku-siku dan didirikan atas tiang-tiang kayu, dinding-dindingnya diberi hiasan dekoratif yang indah-indah, Walaupun alat-alat mereka masih dibuat daripada batu, tetapi alat-alat itu dibuat dengan halus, bahkan juga sudah dipoles pada kedua belah mukanya.
A. CARA HIDUP
Cara hidup zaman neolithikum membawa perubahan-perubahan besar, karena pada zaman itu manusia mulai hidup berkelompok kemudian menetap dan tinggal bersama dalam kampung. Berarti pembentukan suatu masyarakat yang memerlukan segala peraturan kerja sama. Pembagian kerja memungkinkan perkembangan berbagai macam dan cara penghidupan di dalam ikatan kerjasama itu. Dapat dikatakan pada zaman neolithikum itu terdapat dasar-dasar pertama untuk penghidupan manusia sebagai manusia, sebagaimana kita dapatkan sekarang.
B. ALAT-ALAT ZAMAN NEOLITHIKUM
Pada zaman neolithikum ini alat-alat terbuat dari batu yang sudah dihaluskan.
1. Pahat Segi Panjang
Daerah asal kebudayaan pahat segi panjang ini meliputi Tiongkok Tengah dan Selatan, daerah Hindia Belakang sampai ke daerah sungai gangga di India, selanjutnya sebagian besar dari Indonesia, kepulauan Philipina, Formosa, kepulauan Kuril dan Jepang.
2. Kapak Persegi
Bahan untuk membuat kapak tersebut selain dari batu biasa, juga dibuat dari batu api/chalcedon. Kemungkinan besar kapak yang terbuat dari calsedon hanya dipergunakan sebagai alat upacara keagamaan, azimat atau tanda kebesaran. Kapak jenis ini ditemukan di daerahi Sumatera, Jawa, bali, Nusatenggara, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan.
3. Kapak Lonjong
Ukuran yang dimiliki kapak lonjong yang besar lazim disebut dengan Walzenbeil dan yang kecil disebut dengan Kleinbeil, sedangkan fungsi kapak lonjong sama dengan kapak persegi. Daerah penyebaran kapak lonjong adalah Minahasa, Gerong, Seram, Leti, Tanimbar dan Irian. Dari Irian kapak lonjong tersebar meluas sampai di Kepulauan Melanesia, sehingga para arkeolog menyebutkan istilah lain dari kapak lonjong dengan sebutan Neolithikum Papua.
4. Kapak Bahu
Kapak jenis ini hampir sama seperti kapak persegi, hanya saja di bagian yang diikatkan pada tangkainya diberi leher. Sehingga menyerupai bentuk botol yang persegi. Daerah kebudayaan kapak bahu ini meluas dari Jepang, Formosa, Filipina terus ke barat sampai sungai Gangga. Tetapi anehnya batas selatannya adalah bagian tengah Malaysia Barat. Dengan kata lain di sebelah Selatan batas ini tidak ditemukan kapak bahu, jadi neolithikum Indonesia tidak mengenalnya, meskipun juga ada beberapa buah ditemukan yaitu di Minahasa.
5. Perhiasan (gelang dan kalung dari batu indah)
Jenis perhiasan ini banyak di temukan di wilayah jawa terutama gelang-gelang dari batu indah dalam jumlah besar walaupun banyak juga yang belum selesai pembuatannya. Bahan utama untuk membuat benda ini di bor dengan gurdi kayu dan sebagai alat abrasi (pengikis) menggunakan pasir. Selain gelang ditemukan juga alat-alat perhisasan lainnya seperti kalung yang dibuat dari batu indah pula. Untuk kalung ini dipergunakan juga batu-batu yang dicat atau batu-batu akik.
6. Pakaian dari kulit kayu
Pada zaman ini mereka telah dapat membuat pakaiannya dari kulit kayu yang sederhana yang telah di perhalus. Pekerjaan membuat pakaian ini merupakan pekerjaan kaum perempuan. Pekerjaan tersebut disertai pula berbagai larangan atau pantangan yang harus di taati. Sebagai contoh di Kalimantan dan Sulawesi Selatan dan beberapa tempat lainnya ditemukan alat pemukul kulit kayu. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang zaman neolithikum sudah berpakaian.
7. Tembikar (Periuk belanga)
setelah pleistosen berganti dengan holosen, kebudayaan paleolithikum
tidak begitu saja lenyap melainkan mengalami perkembangan selanjutnya.
Di Indonesia, kebudayaan paleolithikum itu mendapat pengaruh baru dengan
mengalirnya arus kebudayaan baru dari daratan Asia ygna membawa
coraknya sendiri. Kebudayaan baru yang timbul itu dinamakan Mesolithikum.
Kebudayaan mesolithikum ini banyak ditemukan bekas-bekasnya di Sumatra,
Jawa , Kalimantan, Sulawesi dan di Flores. Dari peninggalan-peninggalan
tersebut dapat diketahui bahwa jaman itu manusia masih hidup dari
berburu dan menangkap ikan (Food-Gathering). Akan tetapi sebagian sudah
mempunyai tempat tinggal tetap, sehingga bisa dimungkinkan sudah
bercocok tanam walau masih sangat sederhana dan secara kecil-kecilan.
Bekas-bekas tempat tinggal mereka ditemukan di pinggir pantai
(Kjokkenmoddinger) dan di dalam gua-gua (Abris Sous Roche). Disitulah
pula banyak didapatkan bekas-bekas kebudayaannya.
Penelitian di bukit kerang menghasilkan banyak penemuan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam Paleolithikum). Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan pebble / kapak Sumatra. Bentuk pebble dapat dikatakan sudah cukup sempurna dan buatannya agak halus. Hal ini membuktikan bahwa alat-alat pada zaman mesolithikum merupakan pengembangan dari alat-alat zaman paleolithikum, dimana cara pembuatannya lebih baik dan lebih halus dari zaman paleolithikum.
A. HASIL KEBUDAYAAN MESOLITHIKUM
1. Kebudayaan Pebble (Pebble Culture)
Kjokkenmoddinger adalah istilah yang berasal dari bahasa Denmark
yaitu kjokken artinya dapur dan modding artinya sampah jadi
Kjokkenmoddinger arti sebenarnya adalah sampah dapur. Dalam kenyataan
Kjokkenmoddinger adalah timbunan atau tumpukan kulit kerang dan siput
yang mencapai ketinggian ± 7 meter dan sudah membatu atau menjadi fosil.
Kjokkenmoddinger ditemukan disepanjang pantai timur Sumatera yakni
antara Langsa dan Medan. Dari bekas-bekas penemuan tersebut menunjukkan
bahwa manusia purba yang hidup pada zaman ini sudah menetap. Tahun 1925
Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang
tersebut dan hasilnya banyak menemukan kapak genggam yang ternyata
berbeda dengan chopper (kapak genggam Palaeolithikum).
Tahun 1925, Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di
bukit kerang tersebut dan hasilnya menemukan kapak genggam. Kapak
genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan
pebble/kapak genggam Sumatra (Sumatralith) sesuai dengan lokasi
penemuannya yaitu dipulau Sumatra. Bahan-bahan untuk membuat kapak
tersebut berasal batu kali yang dipecah-pecah.
Selain kapak-kapak yang ditemukan dalam bukit kerang, juga
ditemukan pipisan (batu-batu penggiling beserta landasannya). Batu
pipisan selain dipergunakan untuk menggiling makanan juga dipergunakan
untuk menghaluskan cat merah. Bahan cat merah berasal dari tanah merah.
Cat merah diperkirakan digunakan untuk keperluan religius dan untuk ilmu
sihir.
2. Kebudayaan Tulang dari Sampung (Sampung Bone Culture)
Berdasarkan alat-alat kehidupan yang ditemukan di goa lawa di
Sampung (daerah Ponorogo – Madiun Jawa Timur) tahun 1928 – 1931,
ditemukan alat-alat dari batu seperti ujung panah dan flakes, kapak yang
sudah diasah, alat dari tulang, tanduk rusa, dan juga alat-alat dari
perunggu dan besi. Oleh para arkeolog bagian terbesar dari alat-alat
yang ditemukan itu adalah tulang, sehingga disebut sebagai Sampung Bone
Culture.
3. Kebudayaan Flakes (Flakes Culture)
Abris Sous Roche adalah goa-goa yang yang dijadikan tempat
tinggal manusia purba pada zaman Mesolithikum dan berfungsi sebagai
tempat perlindungan dari cuaca dan binatang buas. Penyelidikan pertama
pada Abris Sous Roche dilakukan oleh Dr. Van Stein Callenfels tahun
1928-1931 di goa Lawa dekat Sampung Ponorogo Jawa Timur. Alat-alat yang
ditemukan pada goa tersebut antara lain alat-alat dari batu seperti
ujung panah, flakes, batu pipisan, kapak yang sudah diasah yang berasal
dari zaman Mesolithikum, serta alat-alat dari tulang dan tanduk rusa.Di
antara alat-alat kehidupan yang ditemukan ternyata yang paling banyak
adalah alat dari tulang sehingga oleh para arkeolog disebut sebagai
Sampung Bone Culture / kebudayaan tulang dari Sampung. Karena goa di
Sampung tidak ditemukan Pebble ataupun kapak pendek yang merupakan inti
dari kebudayaan Mesolithikum. Selain di Sampung, Abris Sous Roche juga
ditemukan di daerah Besuki dan Bojonegoro Jawa Timur. Penelitian
terhadap goa di Besuki dan Bojonegoro ini dilakukan oleh Van Heekeren.
Di Sulawesi Selatan juga banyak ditemukan Abris Sous Roche terutama di
daerah Lomoncong yaitu goa Leang Patae yang di dalamnya ditemukan
flakes, ujung mata panah yang sisi-sisinya bergerigi dan pebble. Di goa
tersebut didiami oleh suku Toala, sehingga oleh tokoh peneliti Fritz
Sarasin dan Paul Sarasin, suku Toala yang sampai sekarang masih ada
dianggap sebagai keturunan langsung penduduk Sulawesi Selatan zaman
prasejarah. Untuk itu kebudayaan Abris Sous Roche di Lomoncong disebut
kebudayaan Toala. Kebudayaan Toala tersebut merupakan kebudayaan
Mesolithikum yang berlangsung sekitar tahun 3000 sampai 1000 SM. Selain
di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, Abris Sous Roche juga ditemukan di
daerah Timor dan Rote. Penelitian terhadap goa tersebut dilakukan oleh
Alfred Buhler yang di dalamnya ditemukan flakes dan ujung mata panah
yang terbuat dari batu indah.
B. KEBUDAYAAN BACSON-HOABINH
Kebudayaan ini ditemukan dalam gua-gua dan dalam bukit-bukit
kerang di Indo-China, Siam, Malaka, dan Sumatera Timur. Alat-alat
kebudayaannya terbuat dari batu kali, seperti bahewa batu giling. Pada
kebudayaan ini perhatian terhadap orang meninggal dikubur di gua dan
juga di bukit-bukit kerang. Beberapa mayatnya diposisikan dengan
berjongkok dan diberi cat warna merah. Pemberian cat warna merah
bertujuan agar dapat mengembalikan hayat kepada mereka yang masih hidup.
Di Indonesia, kebudayaan ini ditemukan di bukit-bukit kerang. Hal
seperti ini banyak ditemukan dari Medan sampai ke pedalaman Aceh.
Bukit-bukit itu telah bergeser sejauh 5 km dari garis pantai menunjukkan
bahwa dulu pernah terjadi pengangkatan lapisan-lapisan bumi. Alur
masuknya kebudayaan ini sampai ke Sumatera melewati Malaka. Di Indonesia
ada dua kebudayaan Bacson-Hoabinh, yakni:
C. KEBUDAYAAN TOALA
Kebudayaan Toala dan yang serumpun dengan itu disebut juga
kebudayaan flake dan blade. Alat-alatnya terbuat dari batu-batu yang
menyerupai batu api dari eropa, seperti chalcedon, jaspis, obsidian dan
kapur. Perlakuan terhadap orang yang meninggal dikuburkan didalam gua
dan bila tulang belulangnya telah mengering akan diberikan kepada
keluarganya sebagai kenang-kenangan. Biasanya kaum perempuan akan
menjadikan tulang belulang tersebut sebagai kalung. Selain itu, didalam
gua terdapat lukisan mengenai perburuan babi dan juga rentangan lima
jari yang dilumuri cat merah yang disebut dengan “silhoutte”. Arti warna
merah tanda berkabung. Kebudayaan ini ditemukan di Jawa (Bandung,
Besuki, dan Tuban), Sumatera (danau Kerinci dan Jambi), Nusa Tenggara di
pulau Flores dan Timor.
Penelitian di bukit kerang menghasilkan banyak penemuan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam Paleolithikum). Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan pebble / kapak Sumatra. Bentuk pebble dapat dikatakan sudah cukup sempurna dan buatannya agak halus. Hal ini membuktikan bahwa alat-alat pada zaman mesolithikum merupakan pengembangan dari alat-alat zaman paleolithikum, dimana cara pembuatannya lebih baik dan lebih halus dari zaman paleolithikum.
A. HASIL KEBUDAYAAN MESOLITHIKUM
1. Kebudayaan Pebble (Pebble Culture)
- Kjokkenmoddinger (Sampah Dapur)
- Pebble (kapak genggam Sumatera = Sumateralith)
- Hachecourt (kapak pendek)
Selain pebble yang diketemukan dalam bukit kerang, juga ditemukan sejenis kapak tetapi bentuknya pendek (setengah lingkaran) yang disebut dengan hachecourt/kapak pendek.
- Pipisan
2. Kebudayaan Tulang dari Sampung (Sampung Bone Culture)
3. Kebudayaan Flakes (Flakes Culture)
- Abris Sous Roche (Gua tempat tinggal)
B. KEBUDAYAAN BACSON-HOABINH
- Kebudayaan pebble dan alat-alat dari tulang yang datang ke Indonesia melalui jalur barat.
- Kebudayaan flakes yang datang ke Indonesia melalui jalur timur.
C. KEBUDAYAAN TOALA
zaman batu adalah suatu periode ketika peralatan manusia secara dominan terbuat dari batu walaupun ada pula alat-alat penunjang hidup manusia yang terbuat dari kayu ataupun bambu. Namun alat-alat yang terbuat dari kayu atau tulang tersebut tidak meninggalkan bekas sama sekali. Hal ini disebabkan karena bahan-bahan tersebut tidak tahan lama. Dalam zaman ini alat-alat yang dihasilkan masih sangat kasar (sederhana) karena hanya sekadar memenuhi kebutuhan hidup saja. Zaman batu tua diperkirakan berlangsung kira-kira 600.000 tahun yang lalu, yaitu selama masa pleistosen (diluvium).
Kamis, 05 Desember 2013
Prasasti ditemukan di Kalimantan Timur (Bukit Berubus, muara kaman) pada tahun 1879 berupa yupa yaitu sebuah prasasti yang dipahat pada tiang batu. Pada mulanya prasasti yang ditemukan ada 4 buah, kemudian ditemukan lagi 3 buah jadi jumlah yupa yang ditemukan menjadi 7. prasasti ini ditulis dengan huruf pallawa dan dalam bahasa sansekerta yang berasal dari abad v masehi. isi dari prassti ini kebanyakan menceritakan kemakmuran dan kebijaksanaan kerajaan kutai.
adapun prasasti prasasti ini sebagai berikut:
- Sang Maharaja Kudungga, yang amat mulia, mempunyai putra mashur, sang Aswawarmman namanya, yang seperti sang Angsuman 'dewa matahari' menumbuhkan keluarga yang amat mulia. Sang Aswawarmman mempunyai tiga putra, seperti api tiga. yang terkemuka dari ketiga putra itu adalah sang Mulawarmman, raja yang berperadaban baik, kuat, dan kuasa. Sang Mulawarmman telah mengadakan kenduri (selamatan yang dinamakan) emas-amat-banyak. untuk peringatan kenduri itulah tugu batu ini didirikan oleh para brahmana.
- dengarkan oleh kamu sekalian, Brahmana yang terkemuka, dan sekalian orang baik lain-lainnya tentang kebaikan budi sang Mulawarmman, raja besar yang sangat Mulia. Kebaikan budi ini iala berwujud sedekah banyak sekali, seolah-olah sedekaah kehidupan atau semata-mata pohon kalpa, dengan sedekah tanah. bergubung dengan semua kebaikan itulah tugu ini didirikan oleh para brahmana.
- tugu ini ditulis untuk dua perkara yang telah disedekahkan sang Raja Mulawarmman, yakni segunung minyak, dan lampu serta malai bunga
- Sang mulawarman, raja yang mulia dan terkemuka, telah memberi sedekah 20.000 ekor sapi kepada lpara brahmana yang seperti api, di tanah yang sangat suci Wapakeswara untuk peringatan akan kebaikan budi raja itu, tugu ini telah dibuat oleh para brahmana yang datang di tempat ini
- Raja Mulawarmman yang tersohor telah mengalahkan raja-raja di medan perang, dan menjadikan mereka bawahannya seperti yang dilakukan oleh raja yudisthira. di waprakeswara raja Mulawaarmman menghadiahkan 40 ribu, lalu 30 ribu lagi. Raja yang salah tersebut juga memberikan jivadana dan cahaya terang (?) di kotanya. Yupa ini didirikanoleh brahmana yang datang kesini dari berbagai tempat.
- temuan arkeologi yang merupakan peninggalan dari kerajaan ini selain yupa dan arca buddha, diantarannya gua-gua di sepanjang sungai jelai, dan lukisan cap tangan di dinding-dinding gua. Serta arca-arca perunggu yang ditemukan di bukit berubus serta bangunan candi yang tertinggal hanya sisa-sisanya saja.
Langganan:
Postingan (Atom)
Powered by Zainal Abidin